Waktu dan Perahu

Kita mulai dari sebuah sungai. Tempat engkau diam termenung menunggu...

BPK Kawal Harta Negara

Mari bermain analogi sejenak. Anggaplah Indonesia itu adalah suatu perusahaan yang warga negaranya berperan sebagai pemegang saham....

Mengenal Konsep Debt To GDP Ratio

Jika kita ingat beberapa waktu belakangan ini, kita dihebohkan dengan isu ‘Indonesia Darurat Hutang’. Namun pemerintah melalui Kementrian Keuangan memberi penjelasan yang cukup untuk ‘memuaskan’ telinga beberapa orang. Penjelasan yang paling sering diberikan adalah Rasio Hutang Terhadap PDB ( Produk Domestik Bruto) atau dengan istilah lain Debt To GDP Ratio. Saat ini tingkat rasio hutng terhadap PDB kita masih berkisar di angka 27%.......

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 14 April 2018

Utang Pemerintah menurut saya


Indonesia darurat hutang katanya. Isu yang belakangan memanas seiring dengan depresiasi rupiah terhadap dolas AS. Yah, kalau ditanya sama anak muda (sebut saja mahasiswa), beragam pendapatnya. Ada yang bilang Utang Indonesia masih aman, ada yang bilang Indonesia sudah darurat utang dan ada juga yang tidak tahu menahu tentang masalah tersebut. Ya meski akurasi dari opini-opini anak muda (mahasiswa) itu juga masih perlu dipertanyakan kebenarannya, tapi tentu terlepas dari benar atau salah, beropini adalah sebuah langkah progresif bagi sebuah proses pembelajaran. Demikian juga saya pada tulisan sederhana ini yang mencoba beropini tentang isu utang negara ini.
Kalau ditanya Indonesia darurat utang atau tidak, tentu jawabannya hanya ada dua, ya atau tidak. Ya, kalau bicara darurat utang atau tidak, paling-paling jatuhnya ke analisis rasio keuangan. Hanya saja saya punya sedikit keresahan yang dikarenakan beberapa orang mengunakan rasio yang menurut pendek pengetahuan saya tidaklah tepat untuk digunakan dalam mengukur Indonesia darurat utang atau tidak, meski ada rasio yang memang cukup mencerminkan.
Rasio Utang Terhadap Aset
Nah, beberapa orang pakai analisis ini nih buat bangun opini aman atau tidaknya utang negara kita. Ya, katanya ini bisa dipakai untuk mengukur kemampuan kita membayar utang. Memang total aset kita masih jauh di atas total utang. Tapi yang saya mau katakan buat orang-orang yang menggunakan rasio ini adalah “Kalian Jahat”. Kenapa? Karena rasio utang terhadap aset itu hanya dipakai oleh kreditur yang akan berguna jika dan hanya jika asumsi yang dipakai adalah - perusahaan yang berutang (debitur) dilikuidasi. Jadi mereka (kreditur) mau tahu berapa aset yang menjamin setiap utang dari perusahaan tersebut. Semakin tinggi aset, semakin mampulah perusahaan membayar utangnya KETIKA diLIKUDASI nanti.
Nah pertanyaannya, jika orang-orang yang menggunakan rasio ini untuk mengukur tingkat keamanan utang Indonesia, apakah dia sadar bahwa secara tidak langsung dia sudah berasumsi bahwa Indonesia akan bangkrut dan dilikudasi? Jadi rasio ini sangat tidak menunjukan kemampuan bayar utang suatu negara (dalam asumsi keadaan normal, tidak dilikuidasi).

Rasio Utang terhadap PDB
Ya, kalau ini ada beberapa cara pandangnya sih. Pertama, dengan melihat persentase defisit anggaran per tahun (defisit anggaran akan dibiayai dari utang). Defisit anggaran selalu diupayakan oleh pemerintah agar tetap berada di bawah 3% sesuai amanat Undang-undang. Tahun ini defisit anggaran turun menjadi sebesar 2,19%. Lalu, apa hubungannya ke PDB? Nah, dengan defisit anggaran (atau kata lain, pertambahan utang) sebesar 2,19% itu, berapa pertumbuhan ekonomi yang mampu dicapai? Kita asumsikan saja sesuai target pemerintah, yang kalau saya tidak salah di kisaran 5,1-5,4 %. Kita ambil saja jalan tengahnya 5,3% (meskipun saya sendiri agak pesimistis bisa sampai segini). Jadi bisa kita lihat, pada satu tahun anggaran, utang bertambah 2,19% dan PDB kita bisa naik 5,3%, terdapat surplus sebesar 3,11%. Namun defisit yang kita maksud tadi barulah pokok dari utang pembiayaan dan belum termasuk bunga atau yield obligasi atau apalah namanya, yang kita sebut sajalah 5-6%. Maka jika kita hitung beban utang yang lahir pada tahun berjalan ditambah bunga adalah sebesar 2,32% (hitung sendiri pakai kalkulator) dari PDB (asumsi yield obligasi negara 6%). Secara hitung-hitungan masih surplus sih..
Tapi apasih hubungan utang terhadap PDB? Memangnya kenapa kalau pertumbuhan PDB tahun berjalan lebih tinggi dari pertumbuhan utang (defisit anggaran) pada tahun berjalan? PDB itu ya paling tidak mencerminkan beberapa hal utama seperti Confident Pasar dan pendapatan negara. konfident pasar artinya keberanian para pelaku usaha untuk meningkatkan konsumsinya untuk ekspansi usaha, ditandai dengan pertumbuhan kredit yang meningkat atau peningkatan daya beli dan konsumsi rumah tangga. Pendapatan negara kita bisa ukur dari nilai di APBN, yang kemudian kita bandingkan dengan total PDB pada tahun berjalan. Karena pendapatan negara yang menjangkau hampir di semua sektor adalah pendapatan pajak, maka dikenallah dengan yang namanya Tax Ratio, yang menghitung berapa persentase penerimaan pajak terhadap PDB. Dan tahun 2017 Tax Ratio Indonesia hanya berada di kisaran 9%. Jadi semakin tinggi PDB, semakin tinggi kepercayaan pasar pada ekonomi domestik sehingga berimplikasi menaikkan investasi, capital Inflow, dll. Begitu juga seharusnya dengan penerimaan negara, akan meningkat seiring dengan meningkatnya PDB kita.

Leverage Ratio
Leverage ratio ini sederhananya menghitung dan melihat komposisi dari utang kita. Apakah mayoritas utang jangka panjang atau jangka pendek.  Mayoritas utang jangka pendek tentu akan merepotkan negara dalam mengurus likuiditasnya, sementara mayoritas utang jangka panjang cenderung dianggap lebih aman, meskipun tidak selalu begitu.Tentu beberapa kali kita dengar bahwa utang Indonesia sebagian besar masih berstatus jangka panjang. Namun saya belum pernah mendapat data tentang kapan saja tanggal jatuh tempo dari utang-utang jangka panjang itu. Karena yang saya khawatirkan adalah ketika utang jangka panjang itu memiliki tanggal jatuh tempo yang relatif sama, maka pada periode tertentu nanti, Short term Leverage akan mendominasi komposisi utang kita, yang artinya kita bisa kesulitan likuiditas.


Selasa, 20 Maret 2018

Bagaimana Krisis Keuangan Terjadi?


“Kenapa dan bagaimana Krisis keuangan bisa terjadi?” pertanyaan tersebut saya dapat dari adik saya yang masih duduk di bangku SMA tepatnya di kelas X. Cukup terkejut dan senang juga ketika adik tercinta memiliki Concern ke hal-hal seperti ini, di mana rata-rata teman seusianya bahkan tidak terfikir untuk mencari tentang hal tersebut. Yang pasti saya mau menjawab pertanyaan tersebut. Hanya saja, karena saya punya prinsip “Talk Less, Write More” saya memilih untuk tidak menjawab pertanyaan adik saya secara langsung kepadanya, melainkan melalui tulisan ini, yang link-nya akan saya kirim ke dia nantinya. Ya hitung-hitung supaya dia terbiasa membaca juga kan. Berhubung juga konektivitas internet yang terbatas, tulisan ini saya buat tanpa bantuan om google sama sekali (alias No Searching At All). Hanya bermodalkan tangan untuk mengetik, laptop sebagai platform mengetik dan pengetahuan, dan beberapa film yang masih berusaha untuk saya fahami. So, it is a very normal things, if there are many mistakes of my answer or my writting and including my English.
Nah jadi sebelum masuk ke yang namanya Krisis Keuangan, ada baiknya kita pahami dulu, apa sebenarnya mendasari sistem keuangan di seluruh dunia. Berdasarkan pendek pemahaman saya, kunci dari sistem keuangan kita adalah, Trust (kepercayaan). Sederhananya, kita anggap saja pihak-pihak dalam sistem keuangan itu hanya ada Bank (bank investasi dan bank retail)(atau lembaga keuangan lain seperti asuransi, dana pensiun dll), investor, nasabah atau masyarakat yang menyimpan uangnya di bank,  sektor pelaku usaha/ perusahaan. Meskipun sebenarnya masih banyak lagi unsur-unsur yang terlibat dalam suatu sistem keuangan, tapi untuk sejenak anggaplah mereka-mereka itu yang memiliki peran dominan dalam sebuah sistem keuangan. Jadi konsepnya adalah, para lembaga keuangan ini (bank, asuransi, dana pensiun, dll) mengumpulkan dana dari investor atau nasabah dengan berbagai macam cara dan berbagai macam produk keuangan yang mereka tawarkan (contoh: tabungan, deposito, saham, asuransi, dana pensiun, dll) kemudian pihak-pihak yang membutuhkan pendanaan (perusahaan) akan meminta kredit atau apalah itu bentuknya dari lembaga-lembaga keuangan tersebut (ini teori udah jadul sekali sih, tapi ya masih laku juga).  Nah pertanyaannya, jika anda diposisikan sebagai nasabah atau investor, apa yang membuat anda mengalokasikan dana yang anda miliki ke lembaga-lembaga keuangan tersebut atau secara lebih sederhana apa yang membuat anda menabung di bank?
Mungkin ada saja yang akan menjawab, untuk masa depan (istri dan si buah hati kelak), atau supaya gak boros, atau bagian dari manajemen keuangan pribadi, atau supaya punya ATM (ATM ya, bukan kartunya) dan kelihatan keren di depan gebetan atau teman yang sebentar lagi jadi gebetan, atau supaya bisa belanja online sana sini, atau supaya orang bank tahu kalau anda punya banyak duit, atau supaya dapat bunga dari bank (Interest Holic), atau supaya gak repot pegang-pegang uang Cash, atau yang paling menarik, supaya aman dan gak dicuri orang. Well, untuk alasan yang terakhir ada spesial pertanyaan tambahan. Kenapa anda berfikir uang anda akan aman di bank? Anda tidak mengenal orang-orang di bank bukan?
Nah inilah konsep dasar sistem keuangan (sependek pengetahuan saya ya) yang saya maksud tadi. Dengan tidak mengabaikan alasa-alasan anda menyimpan uang di bank yang telah saya tulis di atas tadi, secara lebih mendasar Anda sebenarnya mau  menyimpan uang anda di bank hanya  karena satu asas, kepercayaan. Anda percaya bahwa uang anda aman di bank, anda percaya bahwa anda akan mendapatkan return (bunga kalau orang kita bilang) dari bank, anda percaya bahwa kapanpun anda mau menarik uang anda dari mesin ATM tak kan ada kesulitan atau masalah yang berarti, kecuali ya, mesin ATM nya rusak atau dibobol maling barangkali atau kartu ATM (nama kerennya sih kartu debit) anda ketinggalan (ini masalah), atau yang lebih parah lagi anda percaya bahwa semua uang yang anda simpan di bank masih utuh di bank tersebut dan gak ke mana-mana. Ya apapun dasar kepercayaan anda sebenarnya bukan menjadi topik yang hangat untuk diperbincangkan dan dikupas tuntas secara tajam sih. Yang penting, ide pokok dari paragraf ini adalah, anda menaruh uang anda di bank karena anda percaya ke pada bank.
Nah, kembali ke pertanyaan awal, bagaimana krisis keuangan bisa terjadi? Oke kita anggaplah sistemnya sudah berjalan. Nasabah rajin menabung, bank mendapat uang dari nasabah, bank menyalurkan pendanaan ke perusahaan, perusahaan memperoleh pembiyayaan dan menjalankan operasinya (produksi atau apalah itu), lalu nasabah tadi kembali membeli produk dari perusahaan tersebut. Secara sederhana itulah siklusnya. Itu adalah siklus yang sehat. tapi krisis keuangan akan sangat berpotensi terjadi ketika Bank (atau lembaga-lembaga keuangan lainnya) mengalami kesulitan keuangan ( atau kesulitan likuiditas). Kesulitan keuangan atau likuiditas perbankan akan menyebabkan nasabah tidak bisa menarik dananya, perusahaan kesulitan mendapat pembiyayaan, dll. Untuk bagian nasabah tidak bisa menarik dananya, ini yang bahaya. Meski hal tersebut terjadi ketika kondisi keuangan suatu bank sudah benar-benar parah, dan biasanya jika bank tersebut dinilai punya peran besar dalam sistem keuangan dan memenuhi kriteria pemerintah, bakalan dibantu sih. Tapi jika nasabah sudah kesulitan untuk menarik dananya dari bank, tentu akan lahir yang namanya Panic, seperti yang terjadi saat Great Depression pada awal tahun 1900-an di Amerika Serikat. Para nasabah akan beramai-ramai menarik dana mereka dari bank yang kesulitan keuangan, akhirnya ya makin kesulitan keuangan kan. Bukan Cuma itu, para nasabah yang menaruh uangnya di bank-bank yang memiliki kondisi keuangan yang sehat juga ikut panik dan beramai-ramai menarik dananya dari bank-bank sehat tersebut, karena takut dananya akan hilang. Jika sudah demikian, bank-bank yang tadinya sehat itupun akan ikut ‘sakit’. Inilah yang dinamakan dampak sistemik, yang sangat berpotensi memicu krisis keuangan dan bahkan meruntuhkan sistem keuangan yang ada. Jadi ketika nasabah kehilangan kepercayaannya terhadap suatu sistem keuangan atau suatu lembaga keuangan, mereka akan cenderung main aman dengan menarik dana, dan jika dilakukan secara beramai-ramai, maka bank-bank akan Collaps.
Mungkin akan ada yang bertanya lagi, bagaimana caranya bank bisa kesulitan keuangan (likuiditas)? Untuk menjawab ini mungkin ada baiknya langsung ke contoh nyata saja. Contoh nyata itu adalah krisis keuangan tahun 2008. Apa yang menyebabkan krisis keuangan tahun 2008, yang disebut-sebut hampir saja meruntuhkan sistem keuangan global?
Jadi dari informasi-informasi yang saya kumpulkan, krisis keuangan tahun 2008 itu dipicu oleh kredit perumahan. Simpelnya begini,  waktu itu banyak orang Amerika yang pengen punya rumah, sehingga industri perumahan naik pesat kala itu. Nah, karena sistem pembelian rumahnya adalah kredit dengan jaminan hipoteknya  rumah tersebut (namanya Mortgage Back Securities, disingkat MBS), maka tak ada kekhawatiran pada perusahaan-perusahaan yang memberikan kredit perumahan kala itu. Nah, ada skema baru nih. Jadi kredit hipotek perumahan itu disekuritisasi oleh bank-bank investasi di Wall Street (namanya CDO, Collateralized Debt Obligation) (bahasa gampangnya dijadikan saham dan dijual ke investor) dan laku keras pula. Karena laku keras dan untungnya besar, maka kredit perumahan didorong (supaya bisa disekuritisasi dan dijual ke investor dalam bentuk CDO), hingga menurunkan kriteria penerima kredit.
Nah, pertanyaannya kenapa banyak yang mau beli itu  kredit perumahan? Ya pertama karena rating layak investasinya mendapat nilai AAA (tertinggi) dan mikirnya pada saat itu industri perumahan bakal maju terus, jadi jaminan atas investasinya ada (berupa rumah). juga bank mengasuransikan CDO tersebut, sehingga k etika terjadi gagal bayar maka perusahaan asuransi lah yang akan menanggungnya,dimana kebanyakan mereka menuju perusahaan asuransi terbesar di dunia kala itu , AIG. Jadi dengan itu, bank-bank menganggap sudah tidak ada lagi risiko dari CDO ini. Bukan hanya itu, para spekulan yang tidak berinvestasi di CDO tersebut juga ‘bertaruh’ dengan ikut mengasuransikan CDO yang dibeli investor tadi. Jadi ibarat, anda punya rumah dan anda asuransikan, kemudian saya juga ikut mengasuransikan rumah anda dan membayar premi asuransi saya sendiri, dengan harapan, ketika rumah anda terbakar saya akan mendapat ganti rugi dari perusahaan asuransi. Demikian juga dengan CDO (Collateralized Debt Obligation).
Kembali ke kredit perumahan. Karena kriteria kredit diturunkan (pasti akan menigkatkan risiko gagal bayar) dan saat itu suku bunga mengalami kenaikan, maka terjadilah gagal bayar kredit secara simultan (besar-besaran), ini disebut Credit Default Swap (CDS).inilah salah satu yang menyebabkan bangkrutnya bank investasi besar di amerika, Lehman Brother pada 2008 bulan September tanggal 10 (kalau tidak salah). Banyak Bank yang mengalami kesulitan likuidasi, orang-orang berlomba menarik dananya dari bank, sehingga perusahaan sekelas General Motor juga mengalami kesulitan dalam mendapatkan pembiayaan harian mereka hingga bangkrut.
Lalu singkatnya rumah-rumah yang gagal bayar disita dan dijual, terjadi kelebihan penawaran perumahan sementara permintaan turun, sehinggga harga rumah pada saat itu menjadi sangat murah. Akibatnya Mortgage Back Securities yang dibeli investor menjadi tak berguna dan tak bernilai. Karena sudah diasuransikan, maka AIG harus membayar Swaps (gagal bayar) tadi. Karena jumlahnya sangat besar, AIG mengalami kesulitan keuangan dan mulai menuju collaps. Bagaimana tidak, setiap bank yang mereka jamin mengalami kerugian yang besar dihari dan waktu yang sama. AIG adalah perusahaan asuransi yang sangat besar yang menjamin banyak hal, Penerbangan, Konstruksi, Asuransi jiwa 81 juta polis dengan nilai 1,9 triliun dollar, miliaran dollar dana pensiun, dan masih banyak lagi. Bayangkan jika perusahaan sekelas AIG bangkrut kala itu, inilah yang disebut-sebut berpotensi meruntuhkan sistem keuangan dan ekonomi dunia. Itulah mengapa AIG dibantu oleh pemerintah AS.
Dari situ nampaklah betapa rapuh sebenarnya sistem keuangan kita sekarang ini. Sedikit isu yang dijalankan secara masif saja sudah berpotensi mengguncang pasar.
Cukup panjang juga, dan mungkin adik saya juga tidak akan mengerti. Tulisan ini juga masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak kesalahan sana-sini. Tapi menulis adalah pilihan, bukan soal benar salah.

Jumat, 05 Januari 2018

Bersama BPK Kawal Harta Negara

          Mari bermain analogi sejenak. Anggaplah Indonesia itu adalah suatu perusahaan yang warga negaranya berperan sebagai pemegang saham, pemerintahnya (eksekutif) berperan sebagai jajaran Direksi-Manajemen, Legislatifnya berperan sebagai jajaran Dewan Komisaris yang dipilih langsung oleh para pemegang saham melalui Rapat Umum Pemegang Saham (yang jika dalam konteks bernegara kita kenal dengan istilah Pemilihan Umum). Pertanyaannya, apa peran Badan Pemeriksa Keuangan dalam konteks analogi tersebut?
          Dalam lingkup sektor privat, setiap entitas yang sudah Go Public (emiten) memerlukan jasa pihak ketiga yang independen sebagai perantara antara manajemen dan pemegang saham. Manajemen tentu ingin menunjukan kinerja keuangan yang baik kepada para pemegang saham sehingga menimbulkan potensi manipulasi data dan laporan. Sementara di sisi lain Pemegang saham yang memercayakan uangnya untuk dikelola oleh manajemen perusahaan tentu merasa penting untuk mengetahui proses pengelolaan uang mereka dari kacamata yang riil dan independen. Perbedaan kepentingan inilah yang melahirkan kebutuhan akan pihak ketiga yang tidak terikat kepada kepentingan pihak manapun. Dalam konteks analogi di atas maka pihak ketiga tersebut adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
          Peran BPK adalah memastikan pengelolaan keuangan negara (instrumennya adalah APBN/APBD, dan kekayaan negara yang dipisahkan) dikelola secara benar, ekonomis, efektif dan efisien. Jelas bahwa BPK sangat berdampak bagi kualitas hidup dan tingkat kesejahteraan warga negara . Dengan adanya BPK diharapkan pengelolaan keuangan negara akan terlaksana dengan lebih baik sehingga masyarakat akan lebih menikmati hasil dari pengelolaan keuangan negara tersebut, baik dari segi peningkatan kesejahteraan maupun kualitas pelayanan sosial yang memadai. Melihat begitu akrabnya peran BPK terhadap kehidupan warga negara, sudah sepantasnyalah kita sebagai warga negara memberikan perhatian lebih terhadap proses dan hasil kinerja dari BPK. Namun realita yang terjadi adalah sebaliknya, di mana masyarakat cenderung enggan bahkan untuk sekadar mencari tahu informasi tentang BPK, apalagi melihat hasil publikasi BPK.
          Berbeda dari sektor privat yang para pemegang sahamnya notabene sudah memiliki kesadaran kolektif akan perlu dan pentingnya peran dari pihak ketiga yang independen (dalam lingkup sektor privat kita kenal dengan Akuntan Publik atau Auditor), di lingkup sektor publik kesadaran tersebut tampaknya masih minim di kalangan warga negara sebagai “pemegang saham” atas Negara Indonesia. Peran dari BPK sebagai ujung tombak Pengawal Harta Negara masih dipandang sebelah mata bahkan masih bisa dikatakan belum dilirik sebagai sesuatu yang penting oleh masyarakat secara umum. Timbulah pertanyaan “ Seberapa eksis BPK di mata masyarakat umum”? Meski tidak berpretensi pada unjuk eksistensi, namun hal tersebut (eksistensi BPK) merupakan tahap awal untuk peningkatan pengetahuan khalayak tentang penting dan krusialnya peran dari BPK sebagai lembaga pemeriksa keuangan dan kinerja lembaga publik.
          Slogan “ BPK Kawal Harta Negara “ harus lebih digaungkan bukan hanya di kalangan akademisi tetapi harus sampai ke lapisan masyarakat terbawah. Tujuannya agar masyarakat lebih akrab dengan slogan tersebut dan lebih mengetahui secara garis besar tugas dan peran dari BPK dalam mengawal Harta Negara. Dengan “Pemasyarakatan” slogan BPK Kawal Harta Negara diharapkan akan mampu meningkatkan atensi masyarakat terhadap pentingnya peran dan tugas dari BPK terhadap kehidupan mereka. Peningkatan atensi masyarakat terhadap BPK merupakan tahap awal untuk meningkatkan rasa ingin tahu masyarakat, peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap BPK dan akan berujung pada tujuan mengajak masyarakat untuk turut serta dalam mengawal Harta Negara.
          BPK Kawal Harta Negara bukan berarti mengajak kita untuk lepas tangan dan menyerahkan seluruh urusan pengawalan harta negara pada BPK. Harus diakui bahwa BPK juga memiliki keterbatasan inheren dalam melakukan pemeriksaan terhadap keuangan, kinerja maupun pemeriksaan dengan tujuan tertentu lainnya. BPK hanya bisa melakukan pemeriksaan secara prosedural audit. Namun masyarakat memiliki kapasitas untuk mengawal uang negara secara real time, mengingat masyarakat adalah pihak yang secara langsung merasakan dampak dari penggunaan keuangan negara (APBN/APBD). Untuk itu perlu peran serta dan partisipasi dari seluruh masyarakat untuk ikut serta dalam mengawal pengelolaan keungan dan harta negara oleh pejabat pengelola keuangan negara/daerah. Salah satu contoh yang paling dekat adalah pengawalan terhadap dana desa. Mengingat banyaknya desa yang mendapatkan dana desa, tentu memaksa BPK  untuk melakukan audit secara sampling, yang berarti meningkatkan risiko audit. Dengan turut sertanya masyarakat dalam mengawal pengelolaan dana desa dan melaporkan kepada BPK jika ditemukan indikasi penyelewengan atau ketidakefisienan pengelolaan keuangan negara tersebut, tentu akan lebih mempermudah BPK dalam meminimalisir risiko audit terhadap Dana Desa.
          Dalam upaya peningkatan peran masyarakat untuk mengawal Harta Negara, BPK sudah memberikan fasilitas dan akan menambah fasilitas untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawalan Harta Negara. Salah satunya adalah halaman pengaduan yang tersedia di website resmi BPK (http://www.bpk.go.id/page/pengaduan-masyarakat). Selain itu, dalam upaya peningkatan pemahaman dan kepercayaan masyarakat terhadap BPK, juga akan diluncurkan mobile apps berbasis android yang akan mempermudah akses informasi dari BPK (http://www.bpk.go.id/news/bpk-luncurkan-inovasi-guna-meningkatkan-kepercayaan-masyarakat). Literasi teknologi dengan memanfaatkan media sosial yang banyak digunakan anak-anak muda juga sudah ditempuh BPK sebagai upaya sosialisasi yang masif, agar masyarakat lebih mengenal, percaya dan berpartisipasi membantu BPK dalam mengawal Harta Negara.

          Intinya, BPK sudah melakukan berbagai macam upaya untuk mengingkatkan atensi masyarakat, kepercayaan masyarakat serta partisipasi masyarakat untuk membantu BPK Kawal Harta Negara. Utamanya sekarang adalah feedback dari kita sebagai masyarakat. Bagaimana kita merespons usaha-usaha yang sudah dilakukan oleh BPK untuk meningkatkan kredibilitas BPK dan mengajak masyarakat untuk ambil andil dalam BPK Kawal Harta Negara. Dengan kepercayaan dan sinergi antara BPK dan masyarakat, tentu pengawalan akan harta negara akan lebih ketat dan ruang untuk melakukan penyelewengan akan semakin sempit yang kemudian ujungnya terciptalah proses pengelolaan keuangan dan harta negara yang akuntabel dan kredibel yang bertujuan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Minggu, 01 Oktober 2017

Mengenal "Rasio Hutang Terhadap PDB"


Jika kita ingat beberapa waktu belakangan ini, kita dihebohkan dengan isu ‘Indonesia Darurat Hutang’. Namun pemerintah melalui Kementrian Keuangan memberi penjelasan yang cukup untuk ‘memuaskan’ telinga beberapa orang. Penjelasan yang paling sering diberikan adalah Rasio Hutang Terhadap PDB ( Produk Domestik Bruto) atau dengan istilah lain Debt To GDP Ratio. Saat ini tingkat rasio hutng terhadap PDB kita masih berkisar di angka 27%, masih tergolong aman jika patokannya adalah Undang-undang Keuangan Negara No. 17 tahun 2003 yang menyatakan batas rasio hutang terhadap PDB adalah 60% dan batas defisit adalah 3% dari PDB. Karena patokannya adalah undang-undang, tentu banyak yang legah dengan angka-angka ini. Namun bagaimana Debt To GDP Ratio itu bekerja? Dan apakah ada hubungannya ke likuiditas dan kemampuan negara dalam melunasi Hutang (Bunga dan Pokok)?
Jika dilihat dari pengertiannya Produk Domestik Bruto (PDB) adalah nilai pasar semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu. PDB digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi suatu negara  dengan cara melihat persentase kenaikan PDB tahun sebelumnya dengan PDB tahun berjalan (Tahun ini). PDB ini seharusnya sedikit banyak bisa merepresentasikan penerimaan negara. Untuk itu penting diketahui berapa rasio penerimaan negara (Baik migas dan Non migas atau Pajak dan Pendapatan diluar pajak). Berdasarkan data, pendaptan negara tahun 2016 adalah sebesar 1.551,8 Triliun rupiah dan hutang Pemerintah per akhir 2016 adalah sebesar 3.466 triliun rupiah. Jika dipersentasekan, rasio pendapatan negara terhadap hutang pemerintah adalah sebesar 44%. Jika awa yang melihatnya angka ini cenderung besar dan aman. Namun pendapatan sebesar 1.551,8 triliun itu tentu masih mengalami defisit untuk belanja selama satu tahun (defisit tahun 2016 Rp 307,7 triliun). Analogi sederhananya begini, anda pengusaha (perseorangan) yang berpenghasilan Rp 44 juta pertahun memiliki hutang sebesar Rp 100 juta (plus Bunga). Mungkin ada yang berfikir itu hal yang biasa, jika dilihat penghasilan 3-5 tahun bisa melunasi hutang tersebut. Namun kasusnya anda adalah pangusaha perseorangan yang segala modal operasinya berasal dari kantong anda sendiri. Tentu penghasilan 44 juta tersebut anda alihkan lagi ke modal usaha untuk ekspansi dengan harapan bisa menambah pendapatan. Nah, karena pendapatan anda sebagian tergerus untuk membayar bunga hutang maka dana untuk modal pun berkurang sehingga anda memilih untuk berhutang untuk menutupi kekurangan biaya operasional usaha anda. Begitulah secara garis besar keadaan negara kita sekarang. Pertanyaannya, kapan hutang-hutang itu bisa lunas? Atau lebih tepatnya, Apakah hutang-hutang itu bisa lunas?

Kembali ke topik Debt to GDP Ratio, untuk mengetahui keakuratan rasio ini perlu diketahui rasio Penerimaan negara terhadap PDB, apakah cukup representatif untuk dijadikan acuan dan tolak ukur keamanan tingkat hutang suatu negara. PDB Indonesia tahun 2016 atas dasar harga berlaku adalah sebesar Rp 12.406,8 triliun. Jika dipersentasekan, rasio pendapatan negara terhadap PDB tahun 2016 adalah sebesar 12,5%. Jadi bisa dilihat, Rasio Hutang Terhadap PDB sebenarnya tidak cukup layak untuk dijadikan acuan aman atau tidaknya posisi hutang negara kita.
Itulah sedikit penjelasan mengenai rasio yang sering diberikan oleh Ibu Menteri Sri Mulyani, ada baiknya kita cari kebenaran dari suatu informasi terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk mengafirmasi informasi tersebut.

NB      : rasio-rasio dan perbandingan di atas adalah rasio yang saya fikir akan berhubungan dengan konsep Debt to GDP Ratio. Untuk lebih lengkapnya bisa dicari-cari hubungan rasio-rasio itu dalam karya-karya tulis ilmiah, karena saya sendiri belum mencarinya.lol.

Tulisan ini masih sangat general, perlu dicari lagi data yang lebih lengkap seperti komposisi Hutang pemerintah, BUMN dan swasta, rasio-rasio hutang di negara-negara lain (terutama G-20), komposisi PDB, dll.