Jika
kita ingat beberapa waktu belakangan ini, kita dihebohkan dengan isu ‘Indonesia
Darurat Hutang’. Namun pemerintah melalui Kementrian Keuangan memberi penjelasan
yang cukup untuk ‘memuaskan’ telinga beberapa orang. Penjelasan yang paling
sering diberikan adalah Rasio Hutang Terhadap PDB ( Produk Domestik Bruto) atau
dengan istilah lain Debt To GDP Ratio.
Saat ini tingkat rasio hutng terhadap PDB kita masih berkisar di angka 27%,
masih tergolong aman jika patokannya adalah Undang-undang Keuangan Negara No.
17 tahun 2003 yang menyatakan batas rasio hutang terhadap PDB adalah 60% dan
batas defisit adalah 3% dari PDB. Karena patokannya adalah undang-undang, tentu
banyak yang legah dengan angka-angka ini. Namun bagaimana Debt To GDP Ratio itu bekerja? Dan apakah ada hubungannya ke
likuiditas dan kemampuan negara dalam melunasi Hutang (Bunga dan Pokok)?
Jika
dilihat dari pengertiannya Produk Domestik Bruto (PDB) adalah nilai pasar semua barang dan jasa yang
diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu. PDB digunakan untuk
mengukur pertumbuhan ekonomi suatu negara
dengan cara melihat persentase kenaikan PDB tahun sebelumnya dengan PDB
tahun berjalan (Tahun ini). PDB ini seharusnya sedikit banyak bisa
merepresentasikan penerimaan negara. Untuk itu penting diketahui berapa rasio
penerimaan negara (Baik migas dan Non migas atau Pajak dan Pendapatan diluar
pajak). Berdasarkan data, pendaptan negara tahun 2016 adalah sebesar 1.551,8
Triliun rupiah dan hutang Pemerintah per akhir 2016 adalah sebesar 3.466
triliun rupiah. Jika dipersentasekan, rasio pendapatan negara terhadap hutang
pemerintah adalah sebesar 44%. Jika awa yang melihatnya angka ini cenderung
besar dan aman. Namun pendapatan sebesar 1.551,8 triliun itu tentu masih
mengalami defisit untuk belanja selama satu tahun (defisit tahun 2016 Rp 307,7
triliun). Analogi sederhananya begini, anda pengusaha (perseorangan) yang
berpenghasilan Rp 44 juta pertahun memiliki hutang sebesar Rp 100 juta (plus
Bunga). Mungkin ada yang berfikir itu hal yang biasa, jika dilihat penghasilan
3-5 tahun bisa melunasi hutang tersebut. Namun kasusnya anda adalah pangusaha
perseorangan yang segala modal operasinya berasal dari kantong anda sendiri. Tentu
penghasilan 44 juta tersebut anda alihkan lagi ke modal usaha untuk ekspansi
dengan harapan bisa menambah pendapatan. Nah, karena pendapatan anda sebagian
tergerus untuk membayar bunga hutang maka dana untuk modal pun berkurang
sehingga anda memilih untuk berhutang untuk menutupi kekurangan biaya
operasional usaha anda. Begitulah secara garis besar keadaan negara kita
sekarang. Pertanyaannya, kapan hutang-hutang itu bisa lunas? Atau lebih
tepatnya, Apakah hutang-hutang itu bisa lunas?
Kembali ke topik Debt to GDP Ratio, untuk mengetahui keakuratan rasio ini perlu
diketahui rasio Penerimaan negara terhadap PDB, apakah cukup representatif
untuk dijadikan acuan dan tolak ukur keamanan tingkat hutang suatu negara. PDB
Indonesia tahun 2016 atas dasar harga berlaku adalah sebesar Rp 12.406,8
triliun. Jika dipersentasekan, rasio pendapatan negara terhadap PDB tahun 2016
adalah sebesar 12,5%. Jadi bisa dilihat, Rasio Hutang Terhadap PDB sebenarnya
tidak cukup layak untuk dijadikan acuan aman atau tidaknya posisi hutang negara
kita.
Itulah sedikit penjelasan mengenai rasio yang
sering diberikan oleh Ibu Menteri Sri Mulyani, ada baiknya kita cari kebenaran
dari suatu informasi terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk mengafirmasi
informasi tersebut.
NB : rasio-rasio dan
perbandingan di atas adalah rasio yang saya fikir akan berhubungan dengan
konsep Debt to GDP Ratio. Untuk lebih
lengkapnya bisa dicari-cari hubungan rasio-rasio itu dalam karya-karya tulis
ilmiah, karena saya sendiri belum mencarinya.lol.
Tulisan ini masih sangat general, perlu dicari lagi data yang
lebih lengkap seperti komposisi Hutang pemerintah, BUMN dan swasta, rasio-rasio
hutang di negara-negara lain (terutama G-20), komposisi PDB, dll.